Google Search

Monday, December 27, 2010

Piala AFF: Kekalahan Terhormat

Di luar harapan bangsa Indonesia, timnas yang bertanding di Malaysia pulang dengan kekalahan 3 - 0. dalam leg pertama laga final AFF. Ditambah lagi, kekalahan ini menjadi sesuatu yang "memukul" harga diri Indonesia. Tampak dari media massa Malaysia yang menyiarkan betapa timnas Indonesia adalah tim yang sangat mudah dikalahkan dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan timnas Malaysia. Lalu apakah yang menjadi faktor kekalahan timnas kita?

Satu faktor yang sangat nyata dalam pertandingan kemarin adalah hilangnya konsentrasi dari pemain timnas di babak kedua. Kiper timnas, Markus Horizon, merasa terganggu dengan ulah curang dari suporter Malaysia yang menyorotinya dengan laser. Sebuah tindakan curang yang menyebabkan timnas memutuskan untuk menghentikan pertandingan, sebelum akhirnya kembali bermain setelah dibujuk oleh tim penjamu. Bangsa ini memiliki rasa keadilan yang cukup besar. Meski tidak bisa dikatakan bersih seratus persen, namun timnas kita juga mempunyai rasa keadilan yang besar, yang menuntut mereka bertanding dengan sikap ksatria dan juga menuntut lawannya juga bersikap demikian. Tindakan curang suporter yang juga menunjukkan lemahnya sistem keamanan di Stadion Bukit Jalil ini telah berhasil melukai rasa keadilan tersebut. Karena sikap bangsa ini yang suka menuntut kebenaran, maka sang kiper pun mengajukan protes pada wasit, yang menyebabkan turunnya semua pemain Indonesia dari panggung pertandingan. Lagipula, siapa yang ingin melawan orang yang curang?

Saat timnas akhirnya setuju untuk bermain kembali, saat itulah konsentrasi timnas yang pada awalnya sudah kurang kuat di awal pertandingan menjadi goyah dan akhirnya buyar. Mungkin saja tindakan suporter yang menyorotkan laser ke pemain Indonesia dan juga melemparkan petasan ke tengah lapangan adalah tindakan provokasi. Dan timnas telah sukses jatuh dalam provokasi tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kekalahan timnas kemarin.

Tetapi di atas semuanya, perilaku tidak terpuji dari suporter Malaysia membuktikan suatu hal yang penting. Bagi Malaysia, semua lawan yang menghadapi mereka adalah lawan yang amat terlalu kuat untuk dihadapi secara ksatria. Bagi mereka, kemenangan adalah kemenangan, apa pun cara yang ditempuh, meski dengan cara tidak sportif sekali pun. Dan itu juga berarti Malaysia menganggap timnas Indonesia adalah musuh yang sangat tidak mungkin dikalahkan secara sportif tanpa tekanan dalam bentuk apa pun.

Meskipun timnas kalah dengan selisih yang jauh, bukan berarti sudah tidak ada harapan lagi. Dan meskipun timnas Indonesia pada akhirnya kalah, hal itu pun tidak mengapa. Setidaknya timnas bermain dengan kejujuran dan keksatriaan. Dan semoga saja perbuatan suporter Malaysia tidak ditiru oleh suporter di Indonesia saat laga kedua nanti. Jangan sampai Malaysia menduga kita tidak bisa menang sama sekali tanpa kekuatan sendiri dan pada akhirnya membuat mereka menjadi lebih besar kepala. Jayalah Indonesia!

Yafeth T. B.

Sunday, December 26, 2010

AFF dan Anarkisme Kronik

Tak dapat dipungkiri, AFF yang diselenggarakan pada bulan ini telah menyatukan kembali segenap bangsa Indonesia. Dapat dilihat di mana-mana Tim Nasional Indonesia berhasil menjadi pokok pembicaraan, baik di berita maupun di jejaring sosial. Dukungan untuk timnas agar dapat merebut kemenangan semakin hari kian bertambah. Terutama sejak timnas berhasil mengalahkan Malaysia dan sampai kini akan bertemu Malaysia lagi dalam final. Tetapi sayang sekali, meski semangat nasionalisme itu telah berkobar-kobar, penyalurannya tidaklah bagus. Terlihat dari tidak tersalurkannya antusiasme penonton dan suporter yang ingin menonton bola di Gelora Bung Karno.

Adalah suatu keanehan untuk saya melihat bagaimana suporter dengan semangat yang sedemikian besar tidaklah diberikan jalan untuk menyalurkan dukungannya dengan baik. Penjualan tiket menonton yang harganya kian melambung hingga dua kali lipat, ditambah lagi dengan keamatiran pelaksana dalam melakukan penjualan. Dalam penjualannya, panitia melakukan cara yang berbelit-belit. Pertama-tama mengantri untuk mengambil nomor antrian, dan kemudian mengantri untuk mendapatkan karcis, yang nantinya ditukarkan dengan tiket. Sesuatu yang harusnya gampang saja dilakukan dibuat susah dan lama. Penumpukan terjadi dan tiap orang menjadi tidak sabar, ditambah ketidakjelasan dan ketidakdisiplinan dari penyelenggara dalam menjual tiket, telah kembali menimbulkan citra bagi persepakbolaan Indonesia. Namun citra tersebut adalah citra yang memburukkan, bukan hanya untuk persepakbolan, namun juga untuk Indonesia secara keseluruhan.

Sore ini saya kembali melihat betapa buruknya bila sebuah hasrat yang menggebu-gebu tidak tersalurkan dengan benar. Karena tidak ada kejelasan mengenai penjualan tiket dan tidak dibukanya loket, para suporter melakukan tindakan anarkis dan menyerbu masuk ke dalam stadion, merusak pagar dan merebut tiket yang tak kunjung dibagikan. Meski ini adalah tindakan brutal yang tidaklah dibenarkan, namun saya pribadi memahami ini sebagai tindakan yang timbul dari aksi yang sepadan.

Tipikal bangsa Indonesia sebenarnya adalah orang yang sopan, senang mencari jalan damai dalam memcahkan kasus, dan mudah diatur. Dan itu semua akan terwujud sempurna bila kedisiplinan dan hukum ditegakkan secara tegas dan jelas. Bangsa ini sebenarnya bukanlah bangsa anarkis, namun keadaan yang seringkali tidak adil telah mendorong mereka ke batas kesabaran mereka. Seperti halnya pembelian tiket ini. Saat orang yang telah mengantri nyaris sehari penuh, lelah, dan bosan diberi kabar yang menyatakan penjualan dibatalkan atau ditunda lagi, maka kita pasti tahu kemana peristiwa akan terjadi: Anarkisme. Bangsa ini telah lama tertindas, sehingga membuat mereka tidak lagi mau hak-haknya dilanggar. Saat keinginan mereka tidak dipenuhi dengan wajar oleh mereka yang berwenang akan hal itu, maka mereka menuntut. Saat tuntutan tidak didengar, maka mereka berteriak. Dan saat teriakan juga tidak didengarkan, maka mereka berontak. Itulah rantai sebab-akibat di negeri ini.

Sebenarnya mudah untuk mengatasi masalah penjualan tiket final AFF ini. Sangat mudah malah. Namun nampaknya hukum tidak tertulis yang dijalankan oleh mereka yang berwenang adalah hukum yang berbunyi "bila bisa dibuat lebih susah dan lebih menderita lagi, mengapa tidak?" Apabila seorang pembeli tiket langsung dilayani di tempat, maka pastilah tidak akan ada penumpukan. Bukankah Indonesia sudah sering mengadakan konser musik? Mengapa tata laksana penjualan tiket konser musik malah lebih baik daripada tiket AFF kali ini? Mungkin penyebab utamanya adalah tidak adanya pemahaman dan tidak terbukanya panitia dalam mengatur bagaimana sistem penjualan tiket ini. Kerumitan pembelian tiket dan ditambah lagi kurangnya loket membuat banyak pembeli tidak sabar.

Kita berharap saja hal ini tidak akan membawa pengaruh pada performa timnas dalam laga final AFF ini. Dan semoga bangsa ini dan para pemimpinnya tidak terus-terusan menjadi lebih bodoh dari keledai dengan terus-menerus jatuh di lubang yang sama. Semoga saja.

Tuesday, December 21, 2010

Semangat Natal (Kembali)

Lampu kelap-kelip. Hiasan hijau berbentuk daun. Pohon natal. Para Santa Claus dadakan (dan juga musiman). Diskon gila-gilaan dari berbagai pusat perbelanjaan. Musik bernuansa Natal di mana-mana. Ya, suasana Natal telah kembali. Tapi apakah ini adalah Natal yang sebenarnya?

Setelah 22 tahun lebih hidup di Bumi ini, saya telah melihat dan mengalami berbagai momen natal. Dan seringnya Natal terasa terlalu digembar-gemborkan dan sangat didayagunakan  oleh para pengusaha untuk meraup untnung sebanyak mungkin. Seperti halnya hari raya keagamaan lainnya di Indonesia.

Seringnya perayaan yang terlalu mewah dan meriah malah mengaburkan makna hari raya itu sendiri. Hari raya Idul Fitri yang terlalu meriah manghilangkan "kesederhanaan" yang terkandung didalamnya. Seperti yang biasa terlihat di Indonesia, mall-mall beramai-ramai mempromosikan event-event ini-itu. Bukannya merayakan kebersamaan, yang ada terkadang malah banyak yang menjadi individual. Dan Natal pun demikian. Saat harusnya inti Natal adalah kembalinya nyala harapan dalam diri kita, keadaan di sekitar kita malah mengartikan Natal sebagai "Sale Akhir Tahun". Bukannya mencoba merajut harapan baru, manusia malah dicekoki konsumerisme yang kadangkala sangat berlebihan.

Apakah sale dan kemeriahan dalam merayakan sebuah hari raya adalah tindakan yang salah? Tidak juga. Namun jika berlebih, itu yang salah. Alangkah baiknya dalam merayakan suatu hari raya kita mencoba untuk lebih menghayati maknanya, bukan terlalu larut dalam perayaannya. Alangkah baiknya kita berpikir masih banyak orang kurang mampu yang berada di sekitar kita yang butuh kita bantu. Mungkin terdengar terlalu idealis dan retoris, tapi ini adalah konsep nyata yang dapat dilakukan siapa saja. Jangan berpikir untuk menolong orang hanya dengan memberikan uang saja. Dengan mendoakan mereka agar mereka mendapatkan kegembiraan dan sukacita sehari saja sudah termasuk membantu mereka, meski tidak secara langsung.

Alangkah baiknya pula sebuah hari raya keagamaan dirayakan dalam suasana tenggang rasa. Tidak ada kericuhan antarumat beragama. Saling menghormati. Karena saling menghormati dan tenggang rasa tidak pernah bertentangan dengan ajaran agama manapun. Semoga hari raya yang menjelang nanti ini dapat menebarkan api harapan dalam tiap diri manusia dalam menjelang tahun yang baru. Selamat Natal bagi semuanya!

Yafeth T. B.

Wednesday, September 22, 2010

Filibuster

Bukan, bukan. Ini bukan nama film baru atau sebuah program komputer. Ini adalah istilah dalam dunia keparlementeran (a. k. a. perpolitikan) di mana seseorang dapat membuat sebuah keputusan batal diambil atau sebuah pemilihan batal dilakukan. Dunia barat telah lama mempraktekkan hal ini dan istilah ini sendiri telah digunakan sejak tahun 1851. Menurut artikel dari Wikipedia, asal muasal nama filibuster berasal dari bahasa Spanyol filibustero yang artinya "perompak". Istilah ini diadaptasi ke dalam beberapa bahasa lain seperti dalam bahasa Perancis dan Belanda. 
 
Sekarang sejarahnya selesai di sini. Mengapa filibuster menjadi istimewa? Filibuster adalah proses untuk menghentikan sesuatu kebijakan dari menjadi sah dengan mencegahnya menjadi sah sejak awal. Filibuster dapat dilakukan secara perseorangan. Inti dari filibuster adalah melakukan debat secara berkelanjutan tanpa henti. Seorang anggota parlemen melakukan penundaan dengan melakukan debat berkepanjangan sehingga sebuah keputusan atau kebijakan tidak menjadi final. Sisi positif dari taktik ulur waktu ini adalah apabila argumentasi yang diberikan berhasil menarik perhatian dari quorum yang ada, maka dapat terjadi peninjauan ulang atas kebijakan atau keputusan yang akan dibuat. Ini tepat sekali apabila ada keputusan atau kebijakan yang kemungkinan dapat menyengsarakan rakyat akan disahkan oleh parlemen. Sisi negatifnya adalah karena hal ini adalah taktik untuk menunda, maka akan merugikan waktu dari senat atau angota parlementer, terutama ketua parlementer. Juga bila keputusan yang ditunda itu sebenarnya hal yang sebenarnya baik untuk masyarakat.
 
Filibuster sebenarnya merupakan perwujudan demokrasi, di mana seorang anggota parlemen berhak untuk berbicara selama mungkin dalam mengajukan pendapatnya. Di negara adidaya Amerika, filibuster dapat dilakukan selama mungkin oleh seseorang selama orang tersebut tetap berdiri dan terus berbicara. Keputusan apapun tidak akan dibuat sampai filibuster selesai, di mana kondisinya adalah jika pelaku filibuster ini tidak berdiri dan berbicara lagi atau sekitar 60% anggota parlemen bersepakat menghentikannya.
 
Jika di Indonesia, apakah filibuster ini berlaku? Saya rasa tidak. Kita memegang prinsip musyawarah, dan demikian dimungkinkan adanya lobi. Dengan lobi, terjadi persepakatan sehingga filibuster tidak terjadi. Selain itu sepertinya tidak ada peraturan yang memungkinkan terjadinya debat berkepanjangan dalam parlemen kita. Padahal bila ada filibuster, maka kasus Century tempo hari pasti makin ramai. Hehehehe...
 
Dari pengalaman saya, di kampus saya ada yang serupa dengan filibuster ini. Saat kepanitiaan acara-acara besar kadang ada sekelompok orang yang melakukan debat berkepanjangan mempermasalahkan segala sesuatu yang kadang tidak penting (meski tidak dalam keadaan berdiri dan terus menerus). Namun tetap saja menghambat pemutusan masalah krusial yang seharusnya selesai dengan segera.
 
Jadi pilih mana: Suka ada filibuster di Indonesia dengan segala untung ruginya atau tidak suka? 

Friday, August 20, 2010

Elegi Negeri Serumpun: Api Dalam Sekam

Minggu ini dibuka dengan kasus baru dari negeri tetangga yang mengakunya serumpun dengan kita. Kali ini masalah di perbatasan laut lepas pantai Kalimantan. Kejadian yang dimulai dari penahanan kapal patroli laut Indonesia yang menangkap pencuri ikan di perairan tersebut kini terus bergulir menjadi masalah serius. Ditinjau dari sudut pandang kedaulatan, hal ini nyata-nyata salah. Terlepas terdapat bukti akan hal itu atau tidak. Kapal yang mencuri ikan di perairan Indonesia entah atas alasan apa diambil kembali oleh pihak Malaysia. Berikutnya kapal patroli yang menangkap ABK kapal tersebut diangkut paksa ke Malaysia. Alasannya? Tidak pasti. ABK kapal yang mencuri ikan di perairan Indonesia mengaku bahwa mereka terseret arus. Jika demikian, mengapa dengan segera muncul dua kapal dari Malaysia yang membebaskan mereka? Ditambah lagi menyerang kapal patroli Indonesia dan nyata-nyata menculik anggota patroli di kapal tersebut.

Jika diumpamakan, kejadian ini sama seperti pencuri mangga yang menangkap anak tuan rumah yang mempunyai mangga tersebut. Pencuri yang menangkap pemilik rumah. Pelanggaran batas wilayah adal;ah hal yang serius. Sedangkan di masyarakat sendiri, jika patok tanah dipindahkan seinchi saja bisa terjadi pertumpahan darah. Apalagi kalau batas negara? Jika alasannya adalah terbawa arus, toh setelah ditanyai sebentar akan dilepaskan. Kecuali bila di dalam kapal terdapat ikan dalam jumlah besar dan tidak dapat menunjukkan surat-surat yang jelas. Itu beda cerita. Jadi apakah Malaysia melindungi warganya yang mencuri ikan di Indonesia? Itu sebuah pertanyaan yang sepertinya hanya bisa dijawab oleh pemerintahan mereka. 

Saya membayangkan apa jadinya bila rasa nasionalisme rakyat Indonesia di bulan Agustus ini tiba-tiba terlalu membara. Jika segenap rakyat Indonesia menjadi tidak sabar melihat kejadian ini, ditambah lemahnya diplomasi yang dirasakan oleh masyarakat, bisa jadi keberadaan bangsa Malaysia yang berada di Indonesia dengan tujuan apapun menjadi terancam. Bisa jadi semua orang Indonesia di Malaysia juga dipulangkan. Meski saya agak sangsi akan hal ini, mengingat yang memutar perekonomian di sana sebagian besar tenaga kerja kita juga (yang ironisnya sebagian besar ilegal).

Pemerintah memang telah melakukan diplomasi, dan sebagai hasilnya petugas yang ditangkap telah dipulangkan. Tetapi ini disertai dengan pertukaran 7 orang ABK yang ditahan dari kapal Malaysia. Bagi sebagian orang Indonesia, ini tidak memenuhi rasa keadilan mereka. Status 7 ABK tersebut adalah tersangka pencurian ikan. Selain itu, sebenarnya tidak ada alasan Malaysia menangkap petugas patroli Indonesia di wilayah yuridiksinya. Jadi sebenarnya tidak ada pertukaran. Seharusnya Malaysia membebaskan mereka dengan sukarela. Namun nampaknya pemerintah memikirkan juga nasib warga Indonesia di sana dan warga Malaysia di sini. Jika terjadi peperangan, akan ada pihak yang dirugikan. Meski warga Indonesia sebagian besar tidak akan peduli akan hal ini.

Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum peringatan Proklamasi? Kalau mau mengembangkan teori konspirasi, maka bisa saja ini dianggap sebagai provokasi. Dan karena kejadian ini terjadi menjelang bulan Ramadhan, mungkin mereka menjadi berani dengan anggapan rakyat Indonesia tidak akan terlalu tersulut emosinya karena hal ini. juka demikian, maka kita sukses dihina oleh mereka! tapi toh ini cuma teori konspirasi yang sebenarnya tidak bisa dipengang karena buktinya tidak kuat. Cuma perandaian.

Saya memikirkan apa yuang terjadi pada dubes Malaysia di Indonesia bila beliau tidak 'mengungsikan diri' saat kasus ini muncul. Mungkin akan terjadi kasus 'penyanderaan' seperti dahulu saat kita bermasalah dengan Malaysia berkaitan dengan reog. Tapi mungkin lebih parah. Untung beliau berhasil menyelamatkan diri, kalau tidak yaaaaa gitu deh. Hehehehehehehe....

Lalu sebagai warga Indonesia, apa yang harus kita lakukan? Kalau saya, saya akan bersuara seperti ini. Berharap ada yang membaca suara ini. Selebihnya kita hanya bisa berdoa. Apabila memang mereka yang mencari masalah, maka mereka yang akan menanggung kesalahan mereka sendiri. Toh TUHAN masih ada di atas sana. 

Tapi kasihan juga kalau dipikir. Bangsa 'serumpun' seperti Malaysia ternyata mencuri ikan juga. Begitu inginnya makan ikan sampai harus mencuri. Berarti mereka miskin mungkin, ya? Lalu apa mereka tidak merasa melanggar hukum agama, ya? Yah, kita tunggu saja nanti. Orang jahat pasti kalah. Kalau bukan manusia yang kalahkan, TUHAN sendiri yang akan kalahkan.

Friday, August 13, 2010

Sensor Situs di Indonesia Masih Lemah (?)

Minggu ini Publik dihebohkan dengan rencana pemerintah untuk menyensor 4 jutaan situs internet yang tidak sesuai dengan kaidah agama, kesusilaan, dan membahayakan keamanan pengguna jasa layanan internet. Dan kali ini saya akui pemerintah bergerak cukup cepat. dengan mengerahkan sejumalah ahli jaringan, dan didukung oleh kerja sama dengan penyedia ISP, beberapa situs 'gelap' yang cukup terkenal telah terbukti tersensor. Dengan demikian, selama masih di Indonesia, seseorang tidak akan dapat mengakses situs-situs tersebut. Namun apakah sensor situs ini telah berjalan sempurna?

Sejak awal mendengar rencana ini, saya merasa ada sedikit kelemahan dalam sistem sensor situs di Indonesia. Pengguna hanya tidak dapat mengakses situs yang telah tersensor apabila ISP lokal mengkategorikannya sebagai situs terlarang. Setengah mati sampai jungkir balik juga tidak akan bisa masuk-masuk. Pengkategorian ini sangat bergantung pada peran serta masyarakat. Beragam istilah 'terlarang' dari beragam bahasa dan dialek harus dikumpulkan, selain alamat situsnya secara langsung. Jadi kesuksesan dari rencana ini sebagian besar di tangan pengguna juga. Jika penggunanya sudah tobat, sih, mudah-mudah saja untuk menjalankan rencana ini. Tapi kadang ada saja orang yang suka hal yang 'terlarang', maka mereka mungkin akan sengaja tidak memberi masukan. Meski ini juga tidak menggambarkan karakter pengguna internet Indonesia secara umum. Toh masih ada juga orang yang turut membantu.

Masalah kedua yang dapat saja terjadi adalah penyebaran data atau file bermuatan 'terlarang' tidak melalui situs biasa. Penyebaran ini dapat saja terjadi melalui pengiriman langsung ke e-mail baik berupa file  maupun link menuju situs tertentu yang belum masuk dalam daftar blacklist. Selain itu, mungkin juga penyebaran barang-barang tersebut menggunakan kata kunci baru yang hanya diketahui oleh komunitas tertentu, sehingga tidak masuk dalam database situs yang disensor. Mungkin juga penyebarannya melalui forum-forum di internet. Menurut saya, karena sifatnya agak luas dan bebas, forum agak susah diblok. Bisa saja forumnya merupakan forum yang memegang teguh prinsip kebebasan. Penggunanya menggunakan kata-kata bertema 'terlarang', namun disensor beberapa hurufnya. Manusia masih bisa mengerti, namun browser tidak akan menggolongkannya sebagai sesuatu yang harus disensor. Untuk mengatasi ini sepertinya pemerintah harus membuat kesepakatan dengan pembuat forumnya agar melakukan ban pada topik 'terlarang'. Namun dengan mengingat kegemaran orang Indonesia untuk berbicara di forum-forum dan ditambah dengan banyaknya jumlah forum lokal Indonesia di internet, hal ini nampaknya agak menyulitkan juga.

Masalah ketiga adalah penggunaan proxy site. Ya, proxy, seperti yang disebut dalam lagunya Saykoji. Orang Indonesia yang cukup sadar internet pasti tahu kata ini. Proxy site bisa dikatakan sebagai jasa peminjaman gerbang untuk menembus batas yang tidak dapat ditembus. Dengan memakai gerbang ini, batasan negara ataupun legalitas tidak ada lagi. Apalagi beberapa proxy site juga menawarkan alamat ISP luar negeri. Karena sensor situs hanya memakai dasar alamat ISP lokal, maka otomatis sensor ini menjadi tidak berguna bila penggunanya menggunakan proxy site + alamat ISP asing.  Kelemahan situs-situs proxy yang sangat berlimpah di internet adalah keamanannya yang lebih tidak stabil dibandingkan mengakses langsung. Sangat rawan terjadi intervensi dari hacker sementara memasukkan atau mengambil data dan informasi. Juga ditambah kemungkinan masuknya tamu tak diundang ke dalam komputer penggunanya. Apakah pemerintah juga harus melakukan sensor terhadap situs-situs proxy? Nampaknya ini agak sulit, karena situs-situs proxy sebenarnya merupakan situs netral. Apakah akan menjadi negatif atau positif itu tergantung penggunanya.

Usaha yang dilakukan oleh pemerintah telah baik. Namun keberhasilannya sendiri sebenarnya kembali pada keinginan dari pengguna internet sendiri. Internet merupakan sumber daya yang sangat besar dan bersifat sosial. Nyaris sulit mengatur segala sesuatunya di dalam internet, apalagi dengan hukum legal seperti yang direncanakan oleh pemerintah. Jika tertutup satu jalan, para pengguna internet pasti dapat menemukan jalan lain. Maka dari itu, kesadaran sendirilah yang menjadi senjata terampuh dalam menyukseskan sensor situs ini. Selamat ber-surfing ria hari ini! Ingat, jaga keselamatan Anda :P

Friday, August 6, 2010

Redenominasi: Solusi atau Masalah?

Sudah dengar rencana BI untuk melakukan redenominasi? Meski katanya baru akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan, tetapi isu ini telah membuat "kehebohan" tersendiri di pemberitaan di negara kita. Setidaknya itu yang saya lihat. lalu apa sebenarnya redenominasi ini?

Redenominasi dapat dianggap sebagai pengurangan digit pada mata uang dan harga barang di Indonesia. Setidaknya demikianlah yang saya tangkap dari pernyataan alhi dan juga pemberitaan selama ini. Hal ini berbeda dengan sanering, di mana nilai uang dipangkas namun nilai barang tidak ikut dipangkas. Dari yang saya tangkap dari pemberitaan selama ini, redenominasi ini bertujuan untuk memperkecil digit atau angka nilai tukar rupiah terhadap dolar. Tapi hanya angka saja, lho. Yang lainnya tetap sama. Katanya juga redenominasi ini bisa membantu sistem akuntansi kita dengan merampingkan dan menyederhanakan angka-angka yang harus dihitung. Tetapi apakah di balik klaim 'menguntungkan' ini tidak ada masalah baru yang akan terjadi?

Setidaknya ada beberapa masalah di masa depan yang dapat saja terjadi bila redenominasi ini "kebablasan":
  • RUSH. Ini kata yang sepertinya jadi tabu untuk para pelaku ekonomi, terutama perbankan. Demi menghindari kata ini pulalah terjadi kasus Century yang menurut pemberitaan sudah mulai kabur penyelesaiannya. Dengan redenominasi, masyarakat akan terpicu untuk menarik uang sebanyak-banyaknya dan berusaha membeli emas atau barang yang dapat dipakai. Alasannya jelas: Panik! Masyarakat Indonesia memiliki kebaisaan panik, karena kehidupannya selalu berubah-ubah dan kadang serba tidak pasti (hehehehehehehe, meski tidak semuanya juga). Masyarakat Indonesia tipe ini akan memborong barang dan investasi jangka panjang untuk mengamankan hidupnya dan nilai kekayaannya (dalam hal ini uang). Ini dapat terjadi bila masyarakat menganggap sanering dan redenominasi adalah 'makhluk' yang sama persis. Tapi dengan sosialisasi yang baik hal ini dapat saja dihindari.
  • KELANGKAAN. Segalanya bakal langka, apapun yang bisa jadi langka akan menjadi langka. Ini efek lanjutan dari rush di atas. Semua orang akan membeli dan menumpuk barang, sehingga barang hilang dari pasaran. Ini juga memungkinkan adanya penimbunan barang temporer oleh penjual untuk menaikkan harga. Lagi-lagi, hal ini bisa dihindari dengan sosialisasi.
  • NILAI TUKAR RUPIAH MELEMAH. Ini juga efek yang jelas menyusul bila redenominasi terjadi. Masyarakat akan memborong mata uang asing untuk investasi, sehingga nilai rupiah jatuh. Bila ada pengusaha yang melakukan impor dari luar negeri dan waktu jatuh tempo utangnya bertepatan dengan keadaan ini, bisa jadi akan terjadi kebangkrutan. Ini efek yang menurut saya agak susah dicegah. Apa boleh buat, orang memang seringnya mencari untung meski kecil, kan?
  • PASAR MODAL GOYAH . Ini efek tambahan dari redenominasi, di mana orang akan lebih memilih menjual saham lebih dulu dan menunggu kestabilan pasar kembali. Jika kondisinya tidak lama dan tidak ekstrim sebenarnya tidak terlalu masalah. Tetapi kalau sebaliknya, maka usaha-usaha besar bisa ikut goyah juga.
  • KEKACAUAN SISTEM AKUNTANSI. Yah, ini lebih menurut pandangan saya. Sistem akuntansi jelas berubah mengikuti redenominasi. Bagi para akuntan, hal ini bisa saja menjadi sesuatu yang njelimet mengingat mereka telah terbiasa dengan sistem lama. Tetapi dengan sedikit penyesuaian, hal ini dapat diatasi.
 Selain hal-hal yang saya kemukakan di atas, masih ada hal-hal lain yang dapat menyusul redenominasi ini meski skalanya tidak terlalu besar. Contohnya harga yang naik mengikuti asas pembulatan ke atas. Menurut ahli yang pernah saya dengar, semisal ada barang yang dulunya 5.590 rupiah (entah mengapa terkadang ada harga seperti ini), maka dengan redenominasi bisa jadi 5,6 rupiah atau bahkan 6 rupiah.

Terlepas dari semua opini di atas, redenominasi memiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri. Bagaimana menyikapinya? Sesuaikan saja dengan keuangan kita. Kalau inflasi stabil dan  masyarakat menerima dengan baik maka ini tidak jadi masalah. Tetapi kalau sebaliknya, sebaiknya ditunda dulu untuk waktu yang tidak diketahui. Hehehehehe.......